Aroma Lembar Masa Lalu di Rumah Baca Anak Nagari (RBAN)

Ada aroma khas dari majalah lawas yang tak tergantikan—kertas menguning, tipis, sedikit rapuh di ujungnya. Sekali tercium, ia memanggil kembali kenangan puluhan tahun lalu: bau masa kecil, halaman rumah, dan sore riuh tawa anak-anak.

Tahun 1980-an adalah masa tanpa riuh notifikasi atau dering ponsel. Pertemuan terjadi alami, janji temu lahir dari kebiasaan: bermain bola di lapangan kampung atau berlarian mengejar layang-layang putus. Lapangan menjadi pusat segalanya—tempat keringat bercampur tawa, persahabatan tumbuh, dan obrolan sederhana terasa penting. Namun, tak semua sore berakhir manis. Kadang, pulang saat gelap berarti bertemu tatapan ibu di depan rumah, gagang sapu di tangan—bukan amarah, melainkan kasih sayang yang mengajarkan batas dan disiplin.

Koleksi Majalah dan Buku Lawas di RBAN

Kini, kenangan itu terkuak kembali saat menemukan buku-buku lawas yang tersimpan di rak Rumah Baca Anak Nagari (RBAN). Koleksi ini mencakup majalah legendaris seperti Kartini, Sarinah, Gadis, Tempo, hingga buku klasik terbitan Balai Pustaka. Membukanya menghadirkan senyum—bukan hanya karena isi berita atau artikel, tetapi juga sampul dengan rambut blow besar khas era 80-an, busana warna-warni, dan iklan-iklan lawas: sabun cuci piring “paling wangi di Indonesia”, kamera analog “teknologi tercanggih”, atau minuman susu dengan tagline polos.

Sebagian Koleksi Majalah di RBAN

Setiap lembar adalah kapsul waktu, merekam selera, gaya hidup, dan harapan zamannya. Iklan memperlihatkan perkembangan teknologi, berita mengingatkan pada peristiwa penting, dan foto menunjukkan pergeseran mode dari masa ke masa.

Membaca majalah lawas di era digital menimbulkan rasa campur aduk. Dahulu, informasi harus ditunggu sebulan sekali, kini datang dalam hitungan detik. Majalah fisik memberi jeda—aroma kertas, tekstur halaman, hingga suara lembut saat dibalik menghadirkan sensasi yang tak tergantikan layar ponsel.

Banyak pengunjung RBAN mengaku terkejut menemukan majalah yang pernah mereka baca. Seorang ibu tertawa kecil melihat iklan kosmetik yang dulu akrab di rumah orang tuanya. Bagi anak-anak, koleksi ini adalah jendela ke masa yang belum mereka alami—bagaimana remaja dulu berpakaian, berita dikemas tanpa internet, dan komunikasi terjadi tanpa gawai.

Koleksi ini lebih dari sekadar hiburan atau nostalgia—ia adalah arsip sejarah hidup. Majalah memuat catatan budaya populer, politik, ekonomi, dan gaya hidup masanya. Buku-buku Balai Pustaka menjadi saksi pembentukan bahasa Indonesia. Merawatnya berarti menjaga memori kolektif, sebab hilangnya halaman-halaman ini berarti hilangnya potongan sejarah yang tak bisa diulang.

Di tengah arus cepat informasi digital, membuka lembar-lembar usang bukanlah menolak masa kini, melainkan menghormati masa yang membentuk siapa kita. Karena setiap halaman, setiap aroma kertas, adalah bagian dari cerita kita bersama.

%d blogger menyukai ini: