Dua Dekade Kemudian: Sebuah Pertemuan Kecil Penuh Makna
Tak pernah terlintas sebelumnya bahwa mudik tahun ini akan menghadirkan kejutan kecil: berkumpul kembali dengan beberapa sahabat semasa kuliah. Walau hanya dalam lingkup yang terbatas, pertemuan ini terasa hangat dan bermakna. Wajar saja, masing-masing telah disibukkan dengan urusan pribadi, apalagi di momen Lebaran yang identik dengan agenda keluarga.
Tanpa terasa, dua puluh tahun telah berlalu sejak kami menyelesaikan pendidikan di program D3 tahun 2005. Waktu yang panjang itu tak hanya memisahkan jarak dan kesibukan, tetapi juga membawa banyak perubahan: pada penampilan, cara berpikir, hingga prinsip hidup yang kini diyakini masing-masing.

Dua dasawarsa cukup untuk mengubah banyak hal. Tubuh yang dulu ramping, kini tampak lebih berisi—terutama pada teman-teman perempuan. Perubahan ini tentu dapat dimaklumi, sebab pengalaman hidup sebagai seorang ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, hingga membesarkan anak, turut memengaruhi kondisi fisik mereka.
Namun perubahan yang terjadi tak hanya sebatas fisik. Gaya berpakaian pun turut mengalami transformasi. Dari yang dulu lebih kasual dan terbuka, kini banyak yang tampil lebih anggun dan santun, mencerminkan kedewasaan dalam berpenampilan. Sebuah perubahan yang patut disyukuri.
Pertemuan singkat itu berlangsung di kediaman Bayu dan Dian—dua alumni D3 Bahasa Inggris angkatan 2002, kelas B. Kini mereka tinggal serumah karena telah menjadi pasangan suami istri. Sebuah kisah cinta yang tumbuh dari ruang kelas hingga ke pelaminan. Dulu kami menyebutnya “jeruk makan jeruk”—istilah akrab bagi mereka yang menikah dengan teman sejurusan.
Kami disambut hangat dengan jamuan makan siang berupa gurami bakar dan ayam goreng. Bayu, yang sibuk memanggang ikan di belakang rumah, sempat bercerita bahwa gurami tersebut diambil langsung dari kolam di halaman belakang. Sambil bercengkerama, kenangan masa kuliah pun satu per satu bermunculan kembali.
Sebenarnya, kami masih menunggu satu teman lagi: Reyhan. Harapannya, kami bisa menyantap makan siang bersama. Namun, seperti biasa, sifat lamanya belum berubah: terlambat. Reyhan, yang dikenal dengan gaya bicara tanpa jeda—penuh semangat namun jarang mengenal titik koma—masih belum tiba ketika kami memutuskan untuk mulai makan lebih dulu.
Percakapan dalam pertemuan itu pun terasa berbeda dari obrolan ringan di masa kuliah dulu. Maklum, kini kami sudah berperan sebagai orang tua. Yang menarik, diskusi kami banyak mengerucut pada satu hal penting: pendidikan anak. Terungkap dalam percakapan bahwa prinsip dan pola asuh masa kini perlahan bergeser. Kami menyadari bahwa apa yang dulu kami terima dari orang tua dan kakek-nenek perlu disesuaikan dengan tantangan zaman saat ini. Pendidikan bukan hanya soal sekolah, tapi tentang membentuk karakter, nilai, dan kepekaan sejak dini.
Terima kasih, Bayu, Dian, Reyhan, Andra, Pijar, dan Bijou, atas pertemuan singkat yang penuh makna ini. Semoga di tahun-tahun mendatang kita bisa kembali duduk bersama, berbagi cerita dan sudut pandang baru, dalam suasana yang lebih lengkap dan obrolan yang semakin kaya.