Dosen bukan Kasta, tapi Kompetensi: Renungan tentang Sosok Hasan Achari Harahap
Bunda Sry ibarat lukisan dari aliran naivisme, jika Ayah Hasan ibarat kaligrafi.
Bunda Sry memang pernah mengajar di sekolahku dulu, SDS Fransiskus Bukittinggi, di bawah Yayasan Prayoga, sebelum tahun 2010 sewaktu aku sudah jadi siswa di SMPS Xaverius dan mendapat predikat 12 di antara 30-an siswa. Aku tak merasa pandai di bidang akademik, dan mungkin yang paling banter waktu aku di kelas 3 SDN Titih, Padang Tarok, Kabupaten Agam—nomer 9 di antara 10 besar, kecerdasanku cuma beruntung 1 poin untuk kategori superior, tak termasuk jenius, hanya gifted-superior sebab kategori jenius masih jauh di atas sana. Tapi sewaktu di Sekolah Alam Minangkabau (disingkat jadi SAM), semasa tingkat SMP (di sana dikategorikan Sekolah Menengah, menyadur dari istilah Middle School), seorang pengajar di bidang Ilmu Kimia berkata padaku, “Nampaknya bakatmu ke arah filsafat deh, Mil.” Nadia Novrima nama fasilitator itu—di sekolah ini, SAM, tak ada guru dan kalaupun ada guru, setiap warga sekolahlah justru yang patut disebut guru, dan ini menghilangkan nilai murid; tak ada murid di SAM; kami saling mencari jati diri, dimulai dari bakat. Maka, sejak setingkat SMP kuperdalam ilmu filsafat dimulai dari buku Pengantar Filsafat karya Burhanudin Salam, sebuah buku berwarna merah dengan ilustrasi lukisan Zaman Victoria. Waktu itu Rocky Gerung belum populer, justru Bung Rocky populer tahun 2019—semua orang tahu belaka soal hal itu—yang paling terkenal mungkin masih Martin Suryajaya yang ogah disebut filsuf, “Waktu ditanya soal curriculum vitae, saya ini apa, saya akan sedikit kebingungan, kalau mau nyebut filsuf, kok rasanya sombong amat? Enggak ada filsuf di Indonesia, jadi saya lebih cocok disebut penulis filsafat,” ujarnya dalam salah satu sesi kuliah online yang ditujukan untuk umum di YouTube. Sudah sejak tahun 2017—kelas 2 SMA (di SAM disebut kelas 2 Sekolah Lanjutan atau High School 2th)—saya terus mengikuti pemikiran Martin Suryajaya yang sekitar dua tahun belakangan menjabat sebagai doktor filsafat di Institut Kesenian Jakarta.
Setahun sebelumnya, pertengahan tahun 2016, saya sudah melahirkan sebuah buku berjudul Emil’s Mentation, pakai nama pena Pelesetupat (arti dari nama itu bersifat nihilis, yakni, “Aku tidak tahu arti namaku.” Itulah arti nama Pelesetupat) dan para mahasiswa di Institut Seni Indonesia di Kota Padangpanjang yang sudah membacanya mengira aku sudah mendalami Nietzschean, padahal membaca Sabda Zarathustra pun sampai kini masih baru sampai halaman Kata Pengantar yang menyebutkan, “Friedrich Nietzsche menyatakan Got ist tott atau Tuhan sudah mati, bukan karena Tuhan benar-benar mati, melainkan karena orang-orang yang menjalankan agama sudah kehilangan sisi kemanusiaan dalam dirinya,” sebagai contoh, terorisme; pajak dosa di Gereja Katolik; bisnis sihir berkedok menghindari hutang budi; dan lain-lain. Aku menyebut frasa “Orang-orang yang beribadah dengan apa yang mereka sebut ibadah” dalam buku Emil’s Mentation itu.
“Mil, tolong carikan Bunda buku-buku yang judulnya ada kata filsafat,” kata Bunda Naivisme, ini tentunya membuatku kelimpungan; beliau ingin membaca buku yang ada di daftar Pustaka Emil dan hanya yang ada judul filsafat-nya; aku tak punya banyak di koleksi yang orangtuaku titipkan di Kampus RBAN ini. Tentulah semua buku itu sudah kubaca, dan karena itulah aku tak bisa menyerahkan sejumlah 12 buku yang ada judul filsafat-nya kepada Bunda Naivisme yang sedang berjuang mati-matian menyelesaikan studinya. Agak panik juga rasanya, terlebih beliau termasuk guruku—meskipun tak pernah mengisi kelas yang kuhadiri—yang lebih-lebih tepatnya termasuk orangtuaku. Jadi kutunjukkan saja channel Martin Suryajaya, dan walaupun Bunda piara-piara akan daku ini tetap menolak buku-buku seperti karya Romo Magnis dan Dr. F. Hari Budiman yang kontennya tetap filsafat—walaupun memang, kuakui, tak mengenakan judul yang ada diksi filsafat—aku yang paham situasi sekolah formal yang sangat berbeda dengan ruang lingkup Jaringan Sekolah Alam Nusantara yang lebih bersifat egalitarian; lebih-lebih aku masih trauma dengan pendidikan formal yang Kau-Tahu-Bagaimana; aku sangat menyegani Bunda Sry sebagai tuan rumah Kampus RBAN yang satu-satunya dosen di tempat ini ialah Ayah Hasan, yang kupahami sebagai orang Medan, yang justru bersifat sebaliknya; bagaimanapun kedua orangtua dari Agha dan Hafshah ini saling melengkapi dengan sifat yang bertolak-belakang begitu.
By the way, aku sempat memprediksi Agha, anak pertama Bunda Sry dan Ayah Hasan, lebih tinggi IQ-nya dariku. Aku bahkan sempat berharap Agha termasuk golongan jenius; bagaimanapun sisi Sagitarius-ku yang selalu optimis inginnya generasi masa depan—atau yang lebih muda dariku—jauh lebih baik dari orang-orang yang lahir sebelumnya. Aku ingat, saat aku menjalani terapi hipnosis, psikolognya bertanya, “Nah, sekarang sebutkan tujuanmu di dunia ini!” aku pun menjawab selama terapi itu, “Cerminan Cinta Ilahi,” dan jika Yesus Kristus memang disalib, mungkin aku juga akan disalib sebagai bentuk pengorbanan seperti Nabi Ismail yang penuh kerelaan dan benar janjinya. Aku kecewa setelah tahu Agha IQ-nya 110 poin, tapi aku ingin sekali membujuk Ayah Hasan mengulang test-nya dengan psikolog lain. Bahkan RBAN ini takkan lahir tanpa ide Aga, dan sewaktu diadakan polling simbol RBAN yang baru, aku sempat menyahut, “Apapun pilihan Aga, itulah yang saya pilih!” bisa dibilang di RBAN Agha adalah adik kesayanganku.
Ayah Hasan yang kupahami namanya mirip dengan nama ayahnya Imam Mahdi; dari sebagian aliran yang meyakini Imam Mahdi bukanlah gerakan pemuda melainkan sosok Juru Selamat ibarat Al-Masih—sering bertukar pendapat denganku dan beliau menganggapku sebagai adiknya sekaligus anak asuhannya sekaligus sahabatnya, tapi walaupun begitu satu-satunya cara membantu Bunda Sry adalah mendatangi langsung Prima Bina Potensia (yang tadinya bernama Prima Residensial) dan minta tolong ke Ibu agar Bunda Sry mengenal buku-buku filsafat yang, mungkin, agak asing bagi Bunda Sry yang seorang guru sekolah formal dan sempat jadi narasumber di acara Kick Andy ini. Aku takut, sekaligus segan sekali, sesegan-segannya untuk membimbing beliau (dan tak mungkin, sangat tak mungkin aku yang statusnya tamat SMA sekalipun tingkatku sudah di jejak Doktoral di bidang Biofisika dan Teori Fiksi Ilmiah di GSI Darmstadt secara daring, setelah Bu Sri Setyawati dan Bunda Maskota Delfy yang membimbingku menyelesaikan tesis-tesisan berjudul Antropologi Mitos (KaryaKarsa, 2023), setelah aku menyelesaikan pendidikan college program di Khan Academy di bidang Matematika (setelah 12 tahun menjadi pelajar pra-mahasiswa) dengan Tugas Akhir berupa Teorema Matematika yang kuberi nama Egalitaritma (yakni cabang dari filsafat AlterNativisme yang kudirikan tahun 2016 sambil mengenyam pendidikan di Prodi Antropologi FISIP Universitas Andalas dalam rangka non-degree program), hal-hal lainnya seperti belajar jadi barista atau jadi tukang bangunan dan melakukan pameran lukisan; ambisiku mempelajari semua pengetahuan sebagaimana orang-orang zaman dulu di Zaman Renaisans (dan karena itu orang sepertiku lebih cocok disebut Manusia Renaisans) mempelajari banyak hal tanpa mengerucut hanya untuk membeli pekerjaan; bukankah begitu—maksudku—membeli ijazah dengan terstruktur?
Tiba-tiba aku teringat pesan Bunda Sry yang ibarat lukisan naivisme ini berkata padaku, “Selesaikanlah dulu buku Dan Brown ini,” buku yang kupinjam dari Kampus RBAN yang beliau kelola dengan Ayah Hasan yang sangat mirip dengan seni kaligrafi itu. Aku teringat adanya Invisible College, leluhur dari Royal Society yang merupakan kelompok kehormatan para ilmuwan di Eropa, yang salah satu anggotanya adalah Srinivasa Ramanujan, yang mencapai gelar PhD secara melompat (baca: tak-terstruktur, yakni: format-egalitarian) sebab Srinivasa Ramanujan sudah berlatih ilmu matematika sejak kecil, sekalipun tak pernah menyentuh sekolah formal kecuali di kampus tempatnya jadi anggota kehormatan Royal Society itu.
Aku agak sungkan sebetulnya, Bunda Sry ini memuji-mujiku di depan banyak orang—apalagi di depan Ayah Hasan—bahwa aku punya pengetahuan yang satu tingkat dengan para profesornya sewaktu Bunda Sry kuliah Doktoral saat ini, dan begitu aku mendengar Ayah Hasan menyebut-nyebut “kuliah hari ini”, aku pun turut senang dan bangga, betapa Ayah Hasan sangat tepat disebut profesor yang merupakan dosen di Rumah Baca Anak Nagari, dan demikianlah kutulis judul esai ini dari istilah Ayah Hasan, dosen dari anak-anak berusia belasan tahun yang jadi mahasiswa IT di Kampus RBAN.
Sekarang, sewaktu aku hendak menyelesaikan esai ini, Agha baru memulai impiannya jadi santri di Payakumbuh, padahal aku sempat berikrar pada diriku sendiri, bahwa aku berjanji pada diriku sendiri, akan membimbing Aga jadi lebih hebat dari diriku. Pesanku untuk Aga, see you next time, My Smart Brother! Belajar yang santai, jangan paksakan apapun, mengalir saja seperti air. Ingatlah Ip Man yang kita tonton, “Ini bukan soal kalah dan menang. Ini soal berhadapan dengan diri sendiri.”
Ingatlah petuah film kungfu itu, Agha.
Ditulis Oleh : Emil Reza Maulana (Penulis, Filsuf, Relawan RBAN)